Sabtu, 15 Desember 2018

Laporan praktikum manajemen produksi benih ikan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembenihan adalah salah satu bentuk unit pengembangan budidaya ikan. Pembenihan ini merupakan salah satu titik awal untuk memulai budidaya. Ikan yang akan dibudidayakan harus dapat tumbuh dan berkembang biak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Untuk dapat menghasilkan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat mesti diimbangi dengan pengoptimalan penanganan induk dan larva yang dihasilkan melalui pembenihan yang baik dan berkualitas.
            Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya manajemen pembenihan yang baik dan mengarahkan produksi pada sustainablity guna tersedianya  bibit  unggul  yang  berkualitas.  Perlunya  upaya  berkelanjutan ditunjang dari ketersediaan sarana dan prasarana pembenihan yang memadai dan akses pasar yang tersedia. Oleh sebab itu, aktifitas pembenihan perlu memperhatikan  kebutuhan  dan  aspek  kehidupan  organisme sebagai  salah satu syarat kegiatan pembenihan.
            Beberapa jenis ikan yang semula hanya dapat diperoleh dari usaha penangkapan di sungai atau laut sampai saat ini sudah banyak yang dapat dibenihkan secara teknis di Unit Pembenihan Ikan (UPI) terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain: jelawat, betutu, kakap putih, dan bandeng. Balai Benih Ikan adalah   suatu   unit usaha pembenihan ikan milik pemerintah yang bertujuan untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan benih ikan, dan untuk membina usaha pembenihan ikan rakyat yang tersebar di hampir seluruh Indonesia. Ada unit usaha pembenihan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Tingkat I, yaitu unit usaha pembenihan sentral dan ada yang   dikelola   oleh   Pemerintah   Daerah   Tingkat   II,   yaitu   unit   usaha pembenihan   lokal.   Oleh   karena   itu,   peningkatan   potensi   unit   usaha pembenihan mempunyai kedudukan yang strategis dalam pengembangan budidaya perikanan.
            Keadaan lingkungan dan tingkat kemajuan budidaya ikan serta pengelolaan di perairan umum (danau, waduk, rawa, dan sungai) di setiap daerah seluruh Indonesia tidak selalu sama. Dengan demikian, tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap unit usaha pembenihan  di setiap daerah juga berbeda. Oleh karena itu, operasionalnya harus dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat tanpa mengubah prinsip yang telah digariskan. Efektivitas dan efisiensi unit usaha pembenihan ikan akan dapat tercapai bilamana ada keseimbangan antara tuntutan kebutuhan benih di daerah setempat dengan fasilitas yang disediakan, tenaga pelaksana organisasi, dan pengelolaannya.

1.2 Tujuan

            Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui manajemen pembenihan ikan yang di terapkan di Balai Budidaya Perikanan Air Payau (BPBAP), Ujung Batee, Aceh Besar.



 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004).
Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing kategori tersebut dapat dilihat sebagai berikut (Crespi dan Coche 2008).
Lokasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha. Secara teknis, lokasi yang digunakan untuk melakukan budidaya berkaitan langsung dengan konstruksi, daya tahan, dan biaya pemeliharaan wadah (Tambak dan karamba jaring apung). Secara biologis, lokasi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas usaha, bahkan keberhasilan panen. Keuntungan maksimal akan dapat diperoleh bila lokasi yangb digunakan untuk melakukan budidaya mampu meminimalkan biaya panen dan transportasi, mudah mengakses pasar. 16 oleh karena itu dalam memilih lokasi, tidak hanya perlu memempertimbangkan faktor teknis dan biologis, tetapi juga faktor social dan ekonomi (Kordi 2009).
Dalam lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan organisme makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan menyediakan pakan tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk memproduksi lebih banyak lagi ikan, pemupukan dan pakan tambahan harus diberikan. Dalam sisten ekstensif (tradisional), produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan, sedangkan pada sistem semiintensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan pupuk bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan Naik 2005).
Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005) dalam akuakultur komersial pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi (Ranoemihardjo,1984).


BAB III METODELOGI  

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 2018, berlokasi di Lokasi 1, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP), Ujung Batee, Aceh Besar. Pada pukul  8:45 - 11:45 WIB.

3.2 Alat Dan Bahan

            Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ni adalah:
Tabel 1 Alat Dan Bahan
No
Alat dan Bahan
Fungsi
1.
Alat Tulis
Untuk Mencatat
2.
Camera
Dokumentasi

3.3 Cara Kerja

Cara kerja yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah:
1.      Diamati setiap komoditi perikanan yang terdapat di Balai Perikanan Budidaya Air Payau
2.      Dicari informasi terkait teknik pembenihan ikan yang dilakukan terhadap komuniti perikanan tersebut
3.      Dikumpulkan data yang diterima
4.      Dilakukan pengambilan dokumentasi



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Untuk dapat menghasilkan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat mesti diimbangi dengan pengoptimalan penanganan induk dan larva yang dihasilkan melalui pembenihan yang baik dan berkualitas. Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya manajemen pembenihan yang baik dan mengarahkan produksi pada sustainablity guna tersedianya  bibit  unggul  yang  berkualitas.  Perlunya  upaya  berkelanjutan ditunjang dari ketersediaan sarana dan prasarana pembenihan yang memadai dan akses pasar yang tersedia. Oleh sebab itu, aktifitas pembenihan perlu memperhatikan  kebutuhan  dan  aspek  kehidupan  organisme sebagai  salah satu syarat kegiatan pembenihan. Hal ini lah yang harus diterapkan di balai-balai perikanan untuk menunjang hasil produksi benih, salah satunya adalah Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee, Aceh Besar yang menerapkan manajemen pembenihan ikan.
Manajemen produksi benih ikan haruslah melakukan sesuai dengan standar operasional (SOP) nya baik dari pengelolaan air secara fisika,kimia dan biologi, pengelolaan induk, benih, pakan, penyakit, pemanenan, pasar dan sarana prasarana pembantu lainnya. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produksi budidaya seiring dengan meningkatnya permintaan pasar yakni dengan meningkatkan jumlah produksi benih yang berkualitas. Hal ini meliputi
a.      Manajemen biosecurity
Penerapan biosecurity di dalam pengelolaan induk bertujuan agar mencegah masuknya agen pembawa penyakit yang bisa menyerang induk. Hal yang dapat dilakukan diantaranya; memasang pagar agar ternak dan hewan liar tidak masuk ke kawasan Pembenihan, memasang jaring di wadah out door agar tidak diserang oleh burung pemakan ikan dan juga agar predator seperti biawak dan berang-berang tida bisa masuk kedalam wadah pemeliharaan induk.
b.      Manajemen wadah
Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa sehingga air dapat di distribusikan secara gravitasi  ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang memerlukan air(Laut,tawar bersih).Sistim pipa pemasukan dan pembuangan air perlu dibangun pada bak pemeliharaan induk,pemeliharaan larva,pemeliharaan pakan alami,laboratorium kering dan basah serta sarana lain yang memerlukan air tawar dan air laut serta udara(aerator). Bak pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan diluar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
c.       Manajemen induk
Pada tahap pembenihan mengelola induk juga dibutuhkan untuk memperoleh benih yang mampu memenuhi permintaan pasar. Pengadaan Induk dengan memilih :
·           Umur induk 4-5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor
·           Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak plastik atau serat kaca dilengkapi dengan aerasi dan diisi air dengan bersalinitas rendah(10-15)ppt,serta suhu 24-25 0c.
·                  Kepadatan induk mulai dari pengangkutan lebih dari 18 jam 5-7 kg/m3 air.Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
            Aklimatisasi  dengan salinitas sama dengan pada saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening kembali. Setelah diaklimatisasi salinitas segera dinaikkan dengan cara mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
Saat pemeliharaan induk hal yang harus dilakukan adalah :
·                Induk berbobot 4-6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan 1 ekor per 2-4 m3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi dengan aerasi sampai kedalaman 2 meter.
·                Pergantian air 150 % per hari dan ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
·                Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan lemak 6-8% diberikan 2-3% dari bobot bio perhari,diberi 3 kali perhari yaitu pagi siang dan sore hari.
·                Salinitas 30-35 ppt, oksigen terlarut 5 ppm,amoniak<0,01 ppm, asam    belerang<0,001 ppm,nitrit<1,0 ppm,PH:7-85 suhu 27-33 0c.

Saat pemilihan induk ada beberapa hal yang diperhatikan yaitu :
·                Periksa Berat badan lebih dari 5 kg atau panjang antara 55-60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
·                jenis kelamin di lakukan dengan cara membius ikan dengan 2  phenoxyetthanol dosis 200-300 ppm setelah ikan melemahkanula dimasukan ke lubang  kelamin sedalam 20-40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap. Pemijahaan (striping) dapat juga  dilakukan terutama untuk induk jantan.
·                Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonat.induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
·                Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat             III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak     sewaktu           dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
d.      Manajemen benih
Manajemen benih meliputi kegiatan:
·    Pemeliharaan telur dan larva
                           Kualitas larva dan benih ditentukan ditentukan oleh kualitas telur yang akan ditetaskan, untuk itu dilakukan seleksi telur dengan memisahkan telur yang bagus (transfaran, mengapung/melayang, berbentuk bulat, dan kuning telur berada di tengah) dan telur yang jelek (mengendap dan berwarna putih susu). Telur yang telah diseleksi kemudian ditetaskan dalam bak penetasan berupa bak fiberglass berbentuk conical dengan kepadatan telur 200-300 butir/liter. Padat tebar benih merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha pembenihan serta berkaitan erat dengan pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Selain itu pakan memegang peranan utama dalam keberhasilan pembenihan. Yang perlu diperhatikan adalah jenis pakan, ukuran pakan, dosis dan frekuensi pemberian pakan. Pengamatan kesehatan larva dilakukan secara visual dengan melihat pergerakan larva setiap hari. Larva yang baik pada umumnya bergerak lincah dan bergerombol serta aktif menangkap pakan alami yang di berikan. Pergantian air dilakukan pada saat larva berumur 10-11 hari dengan cara menyipon dengan selang yang diberi waring pada ujungnya sehingga larva ikut tersedot. Untuk pengamatan kualitas air dilakukan dengan pengukuran kualitas air setiap hari yang meliputi suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman (pH).
·    Pemberian pakan larva
                           Selama masa pemeliharaan, larva diberikan pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang digunakan adalah fitoplankton jenis Nannochloropsis oculata, zooplankton jenis Brachionus plicatilis / rotifer  dan naupli artemia. Pemberian pakan dengan jumlah dan kualitas yang baik akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan dan perkembangan larva. Oleh karena itu, strategi pemberian pakan pada masa awal pemeliharaan dengan menggunakan Nannochloropsis oculata pada saat larva berumur D2-D15 dengan kepadatan 3-5 x 105 sel/ml. Pemberian Rotifera dilakukan pada saat larva berada pada fase D3-D20. Jumlah awal Rotifera yang diberikan sebanyak 5-10 indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Pemberian Artemia dapat diberikan pada larva mulai umur D15. Jumlah awal Artemia yang 0 5 1510 20 25 30.
                           Alga, Rotifera, Naupli Artemia dan pellet diberikan adalah sebanyak 1 indvidu/ml dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Pakan buatan berupa pelet mulai diperkenalkan ke larva pada umur D14. Ukuran pakan pelet untuk larva ikan bervariasi mulai dari 200-800 µm disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Pakan pelet dapat diberikan secara manual yaitu dengan menebarkannya sedikit demi sedikit dan secara langsung pada media pemeliharaan atau juga dapat dilakukan dengan menggunakan automatic feeder.
·         Pemanenan
                           Benih yang siap panen telah berukuran 3-5 cm atau sudah terlihat pergerakannya lincah atau sehat. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk panen yaitu seser, baskom dan plastik dicuci bersih dan peralatan lainnya yaitu tabung oksigen, regulator dan karet diletakkan pada tempat yang memudahkan pemanenan atau sedekat mungkin dengan lokasi panen.
                           Adapun langkah-langkah dalam pemanenan adalah proses pertama menyipon bak sampai bersih selanjutnya air di turunkan sampai ketinggian hanya sekitar 5 cm. Panen dilakukan dengan menggunakan seser, selanjutnya di pindahkan kedalam baskom yang berisi air mengalir. Tahap selanjutnya di adakan penghitungan jumlah benih dengan sampling basah yaitu menghitung jumlah benih dalam baskom sampai 1000 ekor inilah yang menjadi dasar kepadatan benih untuk penghitungan baskom selanjutnya.
                          Selanjutnya dilakukan pengemasan yaitu dengan cara mengisi kantong panen diameter 45 cm dengan air sebanyak  ketinggian plastik dan benih dimasukkan sebanyak 2000 ekor/kantong. Pemberian oksigen pada kantong panen dan pengikatan kantong panen dengan menggunakan karet sehingga kantong benar-benar aman dari kebocoran selanjutnya kantong tersebut dimasukkan dalam kardus atau styrofoam.
e.  Distribusi
            Pada manajemen transportasi ini memperhatikan medan dan jarak yang akan dilalui selama pengiriman. Manajemen ini berhubungan dengan teknik pengemasan. Jika medan jauh dan sulit dijangkau maka digunakan transportasi mobil yang tertutup dan tidak terkena sinar matahari langsung. Sedangkan jika tempat pengiriman dekat dan bibit yang dipasarkan tidak banyak, dapat menggunakan motor untuk pengiriman. Seluruh manajemen ini mempengaruhi efisien dan efektifitas penggunaan dana dan keuntungan. Oleh sebab itu perlu untuk diperhitungakan seluruhnya. Distribusi benih dari BPBAP adalah Aceh Jaya, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Simelue, Singkil, Pulau Banyak, dengan harga sesuai dengan ketentuan dari tiap komoditi.
          Secara ringkas SOP dari manajemen pembenihan ikan di BPBAP di sajikan pada tabel dibawah ini.

No
Manajemen Pembenihan
Standar Operasional di BBAP Ujung Batee
1
Biosekuriti
Penggunaan pagar dan penjagaan 24 jam. Penggunaan cairan Kalium permanganat dan kaporit pada pintu masuk
2
Persiapan Wadah
Wadah yang digunakan berbentuk bulat dan persegi panjang. Sebelum digunakan wadah terlebih dahulu disterilisasikan menggunakan kaporit 5-10 ppm atau teosulfat 2,5 ppm. Kemudian bilas dengan air bersih dan keringkan untuk membunuh hama dan penyakit.
3
Pengelolaan Air
Air yang digunakan berasal dari air laut yang telah diendapkan dan difilter terlebih dahulu dalam bak tandon selama 24 jam.
4
Pemilihan Induk
Induk yang digunakan bersertifikat SNI, bebas virus, sehat dan lincah, tidak cacat, matang gonad.
Kakap Putih: induk betina berukuran 6-7 kg,  
                         dengan perut terlihat membesar
                         serta warna tubuh yang lebih putih
                         Sedangkan induk jantan berukuran
                         3-4 kg dengan tubuh terlihat 
                          ramping
Bandeng:        Induk betina berukuran diatas 3 kg,  
                        dengan perut terlihat membesar,                          
                        Sedangkan induk jantan berukuran
                        3 kg dengan tubuh terlihat ramping
5

Pemijahan
Sistem pemijahan dilakukan secara alami dengan cara manipulasi lingkungan atau kejut suhu. Perbandingan induk jantan dan betina adalah 1: 2 Pemijahan ikan dari sore sampai malam hari pada pukul 18.00-22.00 WIB.
Fekunditas telur ikan kakap putih sebesar 1,5 – 2                juta telur dalam 1 kali pemijahan.
Fekunditas telur ikan bandeng sebesar 300 butir     dalam 1 kali pemijahan.
6
Penetasan Telur
Menggukan metode Corong. Telur menetas selama 12 jam. Daya tetas ikan kakap putih dan bandeng sebesar 80 %.
7
Pemeliharaan Larva
Kakap putih : Survivar Rite-nya sebesar 20%.       Larva diberi pakan berupa Rotifera dan Artemia
Bandeng : Survivar rite sebesar 80%. Larva diberi pakan berupa Rotifera, serbuk (terigu) dan ikan rucah (ikan mas +  kuning telur + vitamin)
8
Pendederan
Benih yang berumur 25 hari dipindahkan kebak pendederan yang berbentuk persegi panjang dan pakan yang berikan yaitu pelet
9
Pemanenan dan Packing
Panen yang dilakukan dapat berupa panen total maupun parsial.
Benih akan dijual dimasukkan kedalam plastik yang berisi ¼ air dan ¾ oksigen.
Jumlah benih dalam 1 kantong pastik sesuai dengan waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan.
10
Pemasaran
Benih kakap: Aceh Jaya, Aceh Timur, Pulau 
                        banyak, Sabang, Simelue dan
                        Aceh Utara.
Harga Benih kakap: Rp 300/cm
Telur kakap : Batam dan Kalimatan.
Harga Telur kakap: Rp 1/butir
Benih Bandeng: Simelue, Aceh Jaya, Aceh
                            Timur, Pulau banyak, Sabang
                            dan Aceh Timur
Harga Benih Bandeng: Rp 20/cm












BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

          Berdasarkan   hasil   dan   pembahasan   maka   dapat   ditarik   beberapa kesimpulan sebagai berikut:
          1.   Manajemen  Pembenihan  dimulai  dari  manajemen  mutu  air,  manajemen sarana, manajemen operasional, manajemen penanganan benih, manajemen transportasi hingga manajemen pemasaran.
          2.   Manajemen operasional terdiri dari kegiatan persiapan, penanganan induk, ablasi  mata,  penebaran  nauplius,  pemberian pakan,  pemanenan.  Persiapan dilakukan dengan persiapan bak seperti bak induk, bak pemijahan, bak inkubasi telur, bak larva dan bak pemanenan.
          3. Manajemen sarana dilakukan untuk menunjang berlangsungnya kegiatan produksi, sarana yang dibutuhkan meliputi sarana utama (main hathcery), sarana penunjang seperti jalur transportasi, dan sarana pendukung.
          4. Tata letak kolam merupakan syarat penting di dalam usaha pembenihan dan erat hubungannya dengan rencana kapasitas produksi serta   jenis   teknologi   yang   diterapkan   dalam   skala   usaha.
          5. Untuk melancarkan pengelolaan unit usaha pembenihan, perlu diadakan pengadministrasian yang meliputi pencatatan/dokumentasi unit usaha pembenihan. Pencatatan ini penting sekali untuk bahan laporan, evaluasi, dan penyusunan perencanaan yang akan dating.

5.2 Saran

            Diharapkan adanya pemateri yang lebih dari satu orang kala dilapangan agar praktikan dapat menerima semua informasi yang diberikan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Crespi dan Coche 2008. Successful mass fry production of humpback grouper, Cromileptes altivelis. LOLITKANTA-JICA Bookl;et No. 10. 15 pp..
Effendi, H. 2004. Telaah Kualitas Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Kordi, 2009. Pembesaran Kerapu Macan (Epinephelus fuscogu-tattus) dan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) di Karamba Jaring Apung. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut, Lampung.
Piska dan Naik, 2005. The Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223 p.
Ranoemihardjo, Bambang S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

INILAH 7 DAFTAR IKAN CUPANG PLAKAT DENGAN HARGA TERMAHAL!!||HAMPIR 25 JT

          Ikan cupang kini memiliki minat yang cukup tinggi di kalangan para pecinta ikan hias, tak bisa di pungkiri, keindahan tubuh dan ti...