BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembenihan adalah salah satu bentuk unit pengembangan
budidaya ikan. Pembenihan ini merupakan salah satu titik awal untuk memulai
budidaya. Ikan yang akan dibudidayakan harus dapat tumbuh dan berkembang biak
agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan. Untuk dapat
menghasilkan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat
mesti diimbangi dengan pengoptimalan penanganan induk dan larva yang dihasilkan
melalui pembenihan yang baik dan berkualitas.
Untuk dapat mencapai hal tersebut
maka diperlukan adanya manajemen pembenihan yang baik dan mengarahkan produksi
pada sustainablity guna tersedianya
bibit unggul yang
berkualitas. Perlunya upaya
berkelanjutan ditunjang dari ketersediaan sarana dan prasarana
pembenihan yang memadai dan akses pasar yang tersedia. Oleh sebab itu,
aktifitas pembenihan perlu memperhatikan
kebutuhan dan aspek
kehidupan organisme sebagai salah satu syarat kegiatan pembenihan.
Beberapa jenis ikan yang semula
hanya dapat diperoleh dari usaha penangkapan di sungai atau laut sampai saat
ini sudah banyak yang dapat dibenihkan secara teknis di Unit Pembenihan Ikan
(UPI) terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain: jelawat,
betutu, kakap putih, dan bandeng. Balai Benih Ikan adalah suatu
unit usaha pembenihan ikan milik pemerintah yang bertujuan untuk
menghasilkan dan memenuhi kebutuhan benih ikan, dan untuk membina usaha
pembenihan ikan rakyat yang tersebar di hampir seluruh Indonesia. Ada unit
usaha pembenihan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Tingkat I, yaitu unit
usaha pembenihan sentral dan ada yang
dikelola oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II,
yaitu unit usaha pembenihan lokal.
Oleh karena itu,
peningkatan potensi unit
usaha pembenihan mempunyai kedudukan yang strategis dalam pengembangan
budidaya perikanan.
Keadaan lingkungan dan tingkat
kemajuan budidaya ikan serta pengelolaan di perairan umum (danau, waduk, rawa,
dan sungai) di setiap daerah seluruh Indonesia tidak selalu sama. Dengan
demikian, tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap unit usaha pembenihan di setiap daerah juga berbeda. Oleh karena
itu, operasionalnya harus dapat menyesuaikan dengan kondisi setempat tanpa
mengubah prinsip yang telah digariskan. Efektivitas dan efisiensi unit usaha
pembenihan ikan akan dapat tercapai bilamana ada keseimbangan antara tuntutan
kebutuhan benih di daerah setempat dengan fasilitas yang disediakan, tenaga
pelaksana organisasi, dan pengelolaannya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari
praktikum ini adalah untuk mengetahui manajemen pembenihan ikan yang di
terapkan di Balai Budidaya Perikanan Air Payau (BPBAP), Ujung Batee, Aceh Besar.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di
lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur
berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya)
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau
budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi
campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan
melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan
pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta
meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004).
Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan
tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang
dihasilkan. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan,
kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau
tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur
hiper intensif. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing kategori
tersebut dapat dilihat sebagai berikut (Crespi dan Coche 2008).
Lokasi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha. Secara
teknis, lokasi yang digunakan untuk melakukan budidaya berkaitan langsung
dengan konstruksi, daya tahan, dan biaya pemeliharaan wadah (Tambak dan karamba
jaring apung). Secara biologis, lokasi juga sangat berpengaruh terhadap tingkat
produktivitas usaha, bahkan keberhasilan panen. Keuntungan maksimal akan dapat
diperoleh bila lokasi yangb digunakan untuk melakukan budidaya mampu
meminimalkan biaya panen dan transportasi, mudah mengakses pasar. 16 oleh karena
itu dalam memilih lokasi, tidak hanya perlu memempertimbangkan faktor teknis
dan biologis, tetapi juga faktor social dan ekonomi (Kordi 2009).
Dalam lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan
organisme makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan
menyediakan pakan tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk
memproduksi lebih banyak lagi ikan, pemupukan dan pakan tambahan harus
diberikan. Dalam sisten ekstensif (tradisional), produksi ikan dapat
ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan, sedangkan pada
sistem semiintensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan pupuk
bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan
dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan
Naik 2005).
Kegiatan akuakultur juga dapat
dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten
dan ada akuakultur komersial. Akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur
yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan
bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk
dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial
adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan
oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di
pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam
penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005) dalam
akuakultur komersial pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50%
biaya produksi (Ranoemihardjo,1984).
BAB III METODELOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 10 November 2018, berlokasi di
Lokasi 1, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP), Ujung Batee, Aceh Besar.
Pada pukul 8:45 - 11:45 WIB.
3.2 Alat Dan Bahan
Alat dan
bahan yang digunakan pada praktikum ni adalah:
No
|
Alat dan Bahan
|
Fungsi
|
1.
|
Alat Tulis
|
Untuk Mencatat
|
2.
|
Camera
|
Dokumentasi
|
3.3 Cara Kerja
Cara kerja yang dilakukan pada
praktikum kali ini adalah:
1.
Diamati setiap komoditi perikanan yang terdapat
di Balai Perikanan Budidaya Air Payau
2.
Dicari informasi terkait teknik pembenihan ikan
yang dilakukan terhadap komuniti perikanan tersebut
3.
Dikumpulkan data yang diterima
4.
Dilakukan pengambilan dokumentasi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Untuk dapat menghasilkan benih yang bermutu dalam jumlah
yang memadai dan waktu yang tepat mesti diimbangi dengan pengoptimalan
penanganan induk dan larva yang dihasilkan melalui pembenihan yang baik dan
berkualitas. Untuk dapat mencapai hal tersebut maka diperlukan adanya manajemen
pembenihan yang baik dan mengarahkan produksi pada sustainablity guna
tersedianya bibit unggul
yang berkualitas. Perlunya
upaya berkelanjutan ditunjang
dari ketersediaan sarana dan prasarana pembenihan yang memadai dan akses pasar
yang tersedia. Oleh sebab itu, aktifitas pembenihan perlu memperhatikan kebutuhan
dan aspek kehidupan
organisme sebagai salah satu
syarat kegiatan pembenihan. Hal ini lah yang harus diterapkan di balai-balai
perikanan untuk menunjang hasil produksi benih, salah satunya adalah Balai
Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Ujung Batee, Aceh Besar yang menerapkan
manajemen pembenihan ikan.
Manajemen
produksi benih ikan haruslah melakukan sesuai dengan standar operasional (SOP) nya
baik dari pengelolaan air secara fisika,kimia dan biologi, pengelolaan induk,
benih, pakan, penyakit, pemanenan, pasar dan sarana prasarana pembantu lainnya.
Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produksi budidaya seiring dengan
meningkatnya permintaan pasar yakni dengan meningkatkan jumlah produksi benih
yang berkualitas. Hal ini meliputi
a.
Manajemen
biosecurity
Penerapan biosecurity di dalam pengelolaan induk bertujuan agar
mencegah masuknya agen pembawa penyakit yang bisa menyerang induk. Hal yang
dapat dilakukan diantaranya; memasang pagar agar ternak dan hewan liar tidak
masuk ke kawasan Pembenihan, memasang jaring di wadah out door agar tidak
diserang oleh burung pemakan ikan dan juga agar predator seperti biawak dan
berang-berang tida bisa masuk kedalam wadah pemeliharaan induk.
b. Manajemen wadah
Bak penampungan air (reservoir) dibangun pada ketinggian sedemikian rupa
sehingga air dapat di distribusikan secara gravitasi ke dalam bak-bak dan sarana lainnya yang
memerlukan air(Laut,tawar bersih).Sistim pipa pemasukan dan pembuangan air
perlu dibangun pada bak pemeliharaan induk,pemeliharaan larva,pemeliharaan
pakan alami,laboratorium kering dan basah serta sarana lain yang memerlukan air
tawar dan air laut serta udara(aerator). Bak
pemeliharaan induk berbentuk empat persegi panjang atau bulat dengan kedalaman
lebih dari 1 meter yang sudut-sudutnya dibuat lengkung dan dapat diletakkan
diluar ruangan langsung menerima cahaya tanpa dinding.
c.
Manajemen induk
Pada tahap pembenihan mengelola induk juga dibutuhkan untuk memperoleh
benih yang mampu memenuhi permintaan pasar. Pengadaan Induk dengan memilih :
·
Umur
induk 4-5 tahun yang beratnya lebih dari 4 kg/ekor
·
Pengangkutan
induk jarak jauh menggunakan bak plastik atau serat kaca dilengkapi dengan
aerasi dan diisi air dengan bersalinitas rendah(10-15)ppt,serta suhu 24-25 0c.
·
Kepadatan
induk mulai dari pengangkutan lebih dari 18 jam 5-7 kg/m3 air.Kedalaman air
dalam bak sekitar 50 cm dan permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi
cahaya dan panas.
Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada saat
pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening
kembali. Setelah diaklimatisasi salinitas segera dinaikkan dengan cara
mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
Saat pemeliharaan induk hal yang harus
dilakukan adalah :
·
Induk
berbobot 4-6 kg/ekor dipelihara pada kepadatan 1 ekor per 2-4 m3 dalam bak
berbentuk bundar yang dilengkapi dengan aerasi sampai kedalaman 2 meter.
·
Pergantian
air 150 % per hari dan ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
·
Pemberian
pakan dengan kandungan protein sekitar 35 % dan lemak 6-8% diberikan 2-3% dari
bobot bio perhari,diberi 3 kali perhari yaitu pagi siang dan sore hari.
·
Salinitas
30-35 ppt, oksigen terlarut 5 ppm,amoniak<0,01 ppm, asam belerang<0,001 ppm,nitrit<1,0
ppm,PH:7-85 suhu 27-33 0c.
Saat pemilihan induk ada beberapa hal yang diperhatikan
yaitu :
·
Periksa
Berat badan lebih dari 5 kg atau panjang antara 55-60 cm, bersisik bersih,
cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu berenang cepat.
·
jenis
kelamin di lakukan dengan cara membius ikan dengan 2 phenoxyetthanol dosis 200-300 ppm setelah
ikan melemahkanula dimasukan ke lubang
kelamin sedalam 20-40 cm tergantung dari panjang ikan dan dihisap.
Pemijahaan (striping) dapat juga dilakukan
terutama untuk induk jantan.
·
Diameter
telur yang diperoleh melalui kanulasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat
kematangan gonat.induk yang mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron
sudah siap untuk dipijahkan.
·
Induk
jantan yang siap dipijahkan adalah yang mengandung sperma tingkat III
yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk banyak sewaktu dipijat
dari bagian perut kearah lubang kelamin.
d.
Manajemen benih
Manajemen
benih meliputi kegiatan:
·
Pemeliharaan telur dan
larva
Kualitas larva dan
benih ditentukan ditentukan oleh kualitas telur yang akan ditetaskan, untuk itu
dilakukan seleksi telur dengan memisahkan telur yang bagus (transfaran,
mengapung/melayang, berbentuk bulat, dan kuning telur berada di tengah) dan
telur yang jelek (mengendap dan berwarna putih susu). Telur yang telah
diseleksi kemudian ditetaskan dalam bak penetasan berupa bak fiberglass
berbentuk conical dengan kepadatan telur 200-300 butir/liter. Padat tebar benih
merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha pembenihan serta
berkaitan erat dengan pertumbuhan dan angka kelulushidupan. Selain itu pakan
memegang peranan utama dalam keberhasilan pembenihan. Yang perlu diperhatikan
adalah jenis pakan, ukuran pakan, dosis dan frekuensi pemberian pakan. Pengamatan kesehatan larva dilakukan
secara visual dengan melihat pergerakan larva setiap hari. Larva yang baik pada
umumnya bergerak lincah dan bergerombol serta aktif menangkap pakan alami yang
di berikan. Pergantian air dilakukan pada saat larva berumur 10-11 hari dengan
cara menyipon dengan selang yang diberi waring pada ujungnya sehingga larva
ikut tersedot. Untuk pengamatan kualitas air dilakukan dengan pengukuran
kualitas air setiap hari yang meliputi suhu, oksigen terlarut, derajat keasaman
(pH).
·
Pemberian pakan larva
Selama masa
pemeliharaan, larva diberikan pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang
digunakan adalah fitoplankton jenis Nannochloropsis
oculata, zooplankton jenis Brachionus
plicatilis / rotifer dan naupli artemia. Pemberian pakan dengan
jumlah dan kualitas yang baik akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan dan
perkembangan larva. Oleh karena itu, strategi pemberian pakan pada masa awal
pemeliharaan dengan menggunakan Nannochloropsis
oculata pada saat larva berumur D2-D15 dengan kepadatan 3-5 x 105 sel/ml.
Pemberian Rotifera dilakukan pada
saat larva berada pada fase D3-D20. Jumlah awal Rotifera yang diberikan sebanyak 5-10 indvidu/ml dengan jumlah yang
semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Pemberian Artemia dapat diberikan pada larva mulai
umur D15. Jumlah awal Artemia yang 0
5 1510 20 25 30.
Alga, Rotifera,
Naupli Artemia dan pellet diberikan adalah sebanyak 1 indvidu/ml dengan jumlah
yang semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur larva. Pakan buatan
berupa pelet mulai diperkenalkan ke larva pada umur D14. Ukuran pakan pelet
untuk larva ikan bervariasi mulai dari 200-800 µm disesuaikan dengan bukaan
mulut ikan. Pakan pelet dapat diberikan secara manual yaitu dengan
menebarkannya sedikit demi sedikit dan secara langsung pada media pemeliharaan
atau juga dapat dilakukan dengan menggunakan automatic feeder.
·
Pemanenan
Benih yang siap panen telah berukuran 3-5 cm atau sudah
terlihat pergerakannya lincah atau sehat. Peralatan-peralatan yang digunakan
untuk panen yaitu seser, baskom dan plastik dicuci bersih dan peralatan lainnya
yaitu tabung oksigen, regulator dan karet diletakkan pada tempat yang
memudahkan pemanenan atau sedekat mungkin dengan lokasi panen.
Adapun langkah-langkah dalam pemanenan adalah proses
pertama menyipon bak sampai bersih selanjutnya air di turunkan sampai
ketinggian hanya sekitar 5 cm. Panen dilakukan dengan menggunakan seser,
selanjutnya di pindahkan kedalam baskom yang berisi air mengalir. Tahap
selanjutnya di adakan penghitungan jumlah benih dengan sampling basah yaitu
menghitung jumlah benih dalam baskom sampai 1000 ekor inilah yang menjadi dasar
kepadatan benih untuk penghitungan baskom selanjutnya.
Selanjutnya dilakukan pengemasan yaitu dengan cara
mengisi kantong panen diameter 45 cm dengan air sebanyak
ketinggian plastik dan benih dimasukkan
sebanyak 2000 ekor/kantong. Pemberian oksigen pada kantong panen dan pengikatan
kantong panen dengan menggunakan karet sehingga kantong benar-benar aman dari
kebocoran selanjutnya kantong tersebut dimasukkan dalam kardus atau styrofoam.

e. Distribusi
Pada manajemen transportasi ini
memperhatikan medan dan jarak yang akan dilalui selama pengiriman. Manajemen
ini berhubungan dengan teknik pengemasan. Jika medan jauh dan sulit dijangkau
maka digunakan transportasi mobil yang tertutup dan tidak terkena sinar
matahari langsung. Sedangkan jika tempat pengiriman dekat dan bibit yang
dipasarkan tidak banyak, dapat menggunakan motor untuk pengiriman. Seluruh manajemen
ini mempengaruhi efisien dan efektifitas penggunaan dana dan keuntungan. Oleh
sebab itu perlu untuk diperhitungakan seluruhnya. Distribusi benih dari BPBAP
adalah Aceh Jaya, Aceh Utara, Aceh Tamiang, Simelue, Singkil, Pulau Banyak,
dengan harga sesuai dengan ketentuan dari tiap komoditi.
Secara ringkas SOP dari manajemen
pembenihan ikan di BPBAP di sajikan pada tabel dibawah ini.
No
|
Manajemen Pembenihan
|
Standar Operasional
di BBAP Ujung Batee
|
1
|
Biosekuriti
|
Penggunaan pagar dan
penjagaan 24 jam. Penggunaan cairan Kalium permanganat dan kaporit pada pintu
masuk
|
2
|
Persiapan Wadah
|
Wadah yang digunakan
berbentuk bulat dan persegi panjang. Sebelum digunakan wadah terlebih dahulu
disterilisasikan menggunakan kaporit 5-10 ppm atau teosulfat 2,5 ppm.
Kemudian bilas dengan air bersih dan keringkan untuk membunuh hama dan
penyakit.
|
3
|
Pengelolaan Air
|
Air yang digunakan
berasal dari air laut yang telah diendapkan dan difilter terlebih dahulu
dalam bak tandon selama 24 jam.
|
4
|
Pemilihan Induk
|
Induk yang digunakan
bersertifikat SNI, bebas virus, sehat dan lincah, tidak cacat, matang gonad.
Kakap Putih: induk
betina berukuran 6-7 kg,
dengan perut terlihat membesar serta warna tubuh yang lebih putih
Sedangkan induk
jantan berukuran
3-4 kg dengan tubuh
terlihat
ramping
Bandeng: Induk betina berukuran diatas 3
kg,
dengan perut terlihat membesar, Sedangkan induk jantan berukuran
3 kg dengan tubuh
terlihat ramping
|
5
|
Pemijahan
|
Sistem pemijahan
dilakukan secara alami dengan cara manipulasi lingkungan atau kejut suhu.
Perbandingan induk jantan dan betina adalah 1: 2 Pemijahan ikan dari sore
sampai malam hari pada pukul 18.00-22.00 WIB.
Fekunditas telur ikan
kakap putih sebesar 1,5 – 2
juta telur dalam 1 kali pemijahan.
Fekunditas telur ikan
bandeng sebesar 300 butir dalam 1
kali pemijahan.
|
6
|
Penetasan Telur
|
Menggukan metode
Corong. Telur menetas selama 12 jam. Daya tetas ikan kakap putih dan bandeng
sebesar 80 %.
|
7
|
Pemeliharaan Larva
|
Kakap putih :
Survivar Rite-nya sebesar 20%.
Larva diberi pakan berupa Rotifera dan Artemia
Bandeng : Survivar
rite sebesar 80%. Larva diberi pakan berupa Rotifera, serbuk (terigu) dan
ikan rucah (ikan mas + kuning telur +
vitamin)
|
8
|
Pendederan
|
Benih yang berumur 25
hari dipindahkan kebak pendederan yang berbentuk persegi panjang dan pakan
yang berikan yaitu pelet
|
9
|
Pemanenan dan Packing
|
Panen yang dilakukan
dapat berupa panen total maupun parsial.
Benih akan dijual
dimasukkan kedalam plastik yang berisi ¼ air dan ¾ oksigen.
Jumlah benih dalam 1
kantong pastik sesuai dengan waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan.
|
10
|
Pemasaran
|
Benih kakap: Aceh Jaya, Aceh Timur, Pulau
banyak, Sabang, Simelue dan Aceh Utara.
Harga Benih kakap: Rp 300/cm
Telur kakap : Batam
dan Kalimatan.
Harga Telur kakap: Rp 1/butir
Benih Bandeng: Simelue, Aceh Jaya, Aceh
Timur, Pulau banyak, Sabang dan Aceh Timur
Harga Benih Bandeng: Rp 20/cm
|
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil
dan pembahasan maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Manajemen Pembenihan dimulai
dari manajemen mutu
air, manajemen sarana, manajemen
operasional, manajemen penanganan benih, manajemen transportasi hingga
manajemen pemasaran.
2.
Manajemen operasional terdiri dari kegiatan persiapan, penanganan induk,
ablasi mata, penebaran
nauplius, pemberian pakan, pemanenan.
Persiapan dilakukan dengan persiapan bak seperti bak induk, bak
pemijahan, bak inkubasi telur, bak larva dan bak pemanenan.
3. Manajemen sarana dilakukan untuk
menunjang berlangsungnya kegiatan produksi, sarana yang dibutuhkan meliputi
sarana utama (main hathcery), sarana penunjang seperti jalur transportasi, dan
sarana pendukung.
4. Tata letak kolam merupakan syarat
penting di dalam usaha pembenihan dan erat hubungannya dengan rencana kapasitas
produksi serta jenis teknologi
yang diterapkan dalam
skala usaha.
5.
Untuk melancarkan pengelolaan unit usaha pembenihan, perlu diadakan
pengadministrasian yang meliputi pencatatan/dokumentasi unit usaha pembenihan.
Pencatatan ini penting sekali untuk bahan laporan, evaluasi, dan penyusunan
perencanaan yang akan dating.
5.2 Saran
Diharapkan
adanya pemateri yang lebih dari satu orang kala dilapangan agar praktikan dapat
menerima semua informasi yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Crespi dan Coche 2008. Successful
mass fry production of humpback grouper, Cromileptes altivelis.
LOLITKANTA-JICA Bookl;et No. 10. 15 pp..
Effendi, H. 2004. Telaah Kualitas
Air; Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta.
Kordi, 2009. Pembesaran Kerapu
Macan (Epinephelus fuscogu-tattus) dan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) di
Karamba Jaring Apung. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut, Lampung.
Piska dan Naik, 2005. The
Ilustrated Guide to Fishes of Lakes and Rivers. Treasure Press. London. 223
p.
Ranoemihardjo, Bambang
S. dan Ivonne F. Lantang. 1984. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal
Perikanan, Departemen Pertanian.